Di Balik Jubah KH. Amin Sepuh Babakan Ciwaringin Cirebon Waktu Perang Di Surabaya

Di Balik Jubah Kiyai (Perang 10 November) | Blog Kang Hamzah - Tidak beda dengan Jatim, seruan jihad melawan kolonial juga berkumandang keras di Jabar. Tampil sebagai pelopor adalah KH. Amin Sepuh dari Babakan Ciwaringin, Cirebon, sebagai pembina Hizbullah. Meski saat itu teknologi belum maju, tetapi KH Amin Sepuh menjalin komunikasi yang baik dengan para Kyai di Jombang.
“Karena Beliau ikut bersama KH. Hasyim Asy’ari... sejak di Bangkalan, Madura hingga mbabak-babak alas Tebuireng...”. tutur KH Fathoni Amin, anak sulung KH Amin Sepuh. 
Sehingga saat mendengar Inggris akan mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945 dengan 'misi' mengembalikan Indonesia kepada Belanda, maka KH Amin Sepuh menggelar rapat bersama para Kyai di wilayahnya. Menurut penuturan Kyai Fathoni, pertemuan itu dilakukan di daerah Mijahan, Plumbon, Cirebon. Bersama dengan Kyai Amin Sepuh, Kyai Fathoni menjadi saksi pertemuan yang melibatkan KH Abbas Abdul Jamil Pesantren Buntet, KH Anshory (Plered), KH. Abdul Halim Leuwimunding, dll. "Namun, saat itu saya masih kecil," tutur pria yang dipercaya sebagai penerus pengasuhan Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon tersebut merendah.

Di Balik Jubah KH. Amin Sepuh Babakan Ciwaringin Cirebon Waktu Perang Di Surabaya
Foto : NU.or.id


Pertemuan itu ditindaklanjuti dengan pengiriman anggota laskar ke Surabaya untuk menghadang 6000 pasukan Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal AWS Mallaby. Tidak ketinggalan, KH Amin Sepuh juga berangkat ke Surabaya, termasuk mengusahakan pendanaannya untuk berangkat. "Untuk pendanaan, beliau menyerahkan 100 gram emas yang terdiri dari kalung, gelang, dan cincin," ungkap Kyai Fathoni yang saat itu melihat langsung.

Kepahlawanan KH Amin Sepuh dalam peristiwa 10 November memang cukup legendaris sampai sekarang. Bahkan saat itu ada stasiun radio yang menyiarkan bahwa KH Amin Sepuh adalah seorang yang tidak mempan senjata maupun peluru saat bertempur di Surabaya. Bahkan, dia juga dikabarkan tidak mati, meski dilempari bom sebanyak 8 kali. Siaran inilah yang membuat kepulangan KH Amin Sepuh ke Cirebon disambut oleh puluhanan ribu orang untuk meminta ijazah ‘kekebalan’ darinya. Kondisi ini tentu saja membuat masyarakat makin takdzim. “Beliau mengatakan tidak mati karena bomnya meleset," kenang Kiyai Fathoni saat ayahnya datang dari Surabaya.

Padahal waktu itu kepulangannya untuk konsolidasi dan mengumpulkan kembali lasykar, santri dan masyarakat yang hendak ikut berjuang. Seperti yang diberitakan oleh Kiyai Irfan dari Plumbon (santri KH. Amin Sepuh) kepada Gus Muh (putra KH. Bisri Amin). “Karena melihat di Surabaya keadaan sangat tidak berimbang, antara Inggris dan NICAnya dengan Pejuang RI, baik segi persenjataan maupun skill tentaranya, juga banyaknya pejuang yang gugur di medan laga, maka KH. Amin Sepuh kembali dalam sekejap ke Cirebon hendak merekrut kembali massa yang ingin mengusir penjajah.

Tidak lama, berkumpullah Kiyai ( Ki Solihin, Ki Maksum bin KH. Amin Sepuh, Kiyai-kiyai wilayah Majalengka, dll) juga para lasykar, santri dan warga yang hendak ikut dengan  KH. Amin Sepuh. Paginya, mereka semua berkumpul di Babakan dan berjalan kaki dari sana, hingga sampai di Pengasinan Plered, Cirebon, tiba waktu Shalat Ashar. Seluruh rombongan melakukan Sholat berjamaah di Masjid Pengasinan (20 m, depan Pul PO. Sahabat). Setelah selesai, berdzikir kemudian KH. Amin Sepuh menuju pintu keluar dan berdoa yang di amini seluruh jamaah.

Kemudian anggota jamaah bersalaman dengan beliau dan berjalan menuju pintu  keluar. Tapi begitu keluar pintu, bagai dibuka hijabnya, tak diduga-duga oleh jamaah, mereka sudah berhadapan dengan Bung Tomo. Iya mereka keluar masjid dan sudah berada di Surabaya. Ini tidak masuk di akal, tapi seluruh jamaah makin yakin dan takdzim dengan KH. Amin Sepuh yang mengiringinya. Selanjutnya mereka bertempur melawan NICA dan Inggris dibawah komando petinggi Hisbullah”.

Banyak santrinya yang menceritakan hikmat-hikmat serta karomah beliau. Terutama berkaitan dengan perjuangan RI. Maka kita sebagai generasi penerus hendaknya mampu meneruskan perjuangan beliau dengan membangun menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wallahua’lambishshowab
Shubhanakallahumma astaghfiruka.

No comments