Kisah Pentingnya Perhatian Orang Tua Terhadap Anak

Kisah Pentingnya Perhatian Orang Tua Terhadap Anak - Baik, alhamdulillah kita bisa ketemu lagi shobt. Dalam postingan ane kali ini ane mau cerita tentang Kisah Pentingnya perhatian Orang tua terhadap anak. Bagaimana ceritanya... kita ke TKP aja shobt... donjreeng...

Terkadang kita atau bahkan sering kali kita tidak mensyukuri apa yang dimiliki oleh kita semua, sampai akhirnya ... Rina, sebut saja begitu namanya. Teman yang satu kampus dengan Lili teman Rina ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas, yaitu meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip salah seorang mantan presiden Amerika.

Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rina termasuk salah satunya. Lili lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rina mendapat pendamping yang ''Selevel'' yaitu sama-sama berprestasi, meski berbeda profesinya.

Setelah beberapa tahun kemudian. Alifya, adalah hasil buah cinta mereka, lahir ketika Rina diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak didengar, Alifya. Lili tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Gambar. Anak yang sedang menangis, merindukan perhatian dan belaian ibunya.
Alifya di panggil dengan sebutan Alif, ketika berusia 6 bulan, kesibukan Rina semakin menggila. Bagaiakan garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota yang lain, dan dari satu negara ke negara yang lain tanpa memikirkan Alif si buah hatinya.

Sewaktu-waktu Lili maen kerumahnya dan pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? '' Dengan sigap Rina menjawab, ''Oh, Saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!'' Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter yang di gaji mahal olehnya. Rina tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti seperti ibunya.

Alif tinggal bersama dengan kakek dan neneknya di rumah, setiap hari mereka memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu dan bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak. ''Contohlah ayah dan bunda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Selalu begitu nenek Alif, ibunya Rina, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rina bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rina dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Tetapi kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata Rina, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rina, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rina menyapanya ''malaikat kecilku''. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir Lili. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Dan diam-diam, Lili iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rina berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan oleh baby sitternya. ''Alif ingin Bunda yang mandikan,'' ujarnya penuh harap. Karuan saja Rina, yang detik demi detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.

Nah, peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ''Bunda, mandikan aku!'' kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rina dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, dimana orang tuanya si Alif belum pulang, Lili dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ''Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.'' Setengah terbang, Lili ngebut menuju ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya. Rina, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia kaget dan shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rina memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri. Dan siang itu, janji Rina terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rina menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Tempat diman semua orang akan mengalaminya dan ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, Lili dan teman-teman rina masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rina, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?'' Lili diam saja.

Melihat seperti itu, rasa-rasanya Rina memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi sebuah pilihan,'' lanjut Rina, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.

Tiba-tiba Rina berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini Lili menyaksikan Rina menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rina merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.

Sahabat Hamzah, nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong. Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat. Sering kali kita sibuk 'di luaran', asik dengan dunia kita dan ambisi kita sendiri mengabaikan orang-orang di dekat kita yang kita sayangi. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu. Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.

Jagalah buah hati kita, sempatkan waktu walapun itu sedikit bersama mereka. Mungkin MEREKA LUPA BAHWA ALLAH YANG MENENTUKAN SEMUANYA. HIDUP, MATI, RIZQI, JODOH HANYA ALLAH YANG MENENTUKAN. Terima kasih, semoga bermanfaat.