Kisah Seorang Wanita Karir Yang Berhenti Bekerja Demi Suami
Suatu sore, sembari menunggu kedatangan teman yang akan menjemput Rina di masjid itu seusai ashar. Rina melihat seorang wanita yang berpakaian rapi, berjilbab dan tertutup sedang duduk disamping masjid. Kelihatannya ia sedang menunggu seseorang juga. Rina mencoba menegurnya dan duduk disampingnya, mengucapkan salam, sembari berkenalan. Sebut saja namanya yaitu Latifah.
Dan akhirnya pembicaraan sampai pula pada pertanyaan itu. “Anti sudah menikah?”. Tanya Latifah. “Belum ”, jawab Rina datar. Kemudian wanita berjubah panjang (Akhwat) itu bertanya lagi “kenapa?”. Pertanyaan yang hanya bisa rina jawab dengan senyuman. Ingin rina jawab karena masih hendak melanjutkan pendidikan, tapi rasanya itu bukan alasan.
Karena tidak bisa menjawab, akhirnya rina tanya balik “Mbak menunggu siapa?" . "Menunggu suami” jawab latifah pendek.
Rina melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa rina tebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya rina memberanikan diri untuk bertanya “Mbak kerja di mana?”
Entah keyakinan apa yang membuat rina demikian yakin jika mbak ini memang seorang wanita karir, padahal setahu rina, akhwat-akhwat seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.
Akhirnya latifah menjawab pertanyaan rina tadi, “Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” jawabnya dengan wajah yang aneh menurut rina, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati. “Kenapa?” tanya rina lagi.
Latifah hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah PINTU AWAL kita wanita karir yang bisa membuat kita lebih hormat pada suami” jawabnya tegas. Rinapun bingung dan berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.
"Saudariku, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah hanya ingin didatangi oleh laki-laki yang baik-baik dan sholeh saja. " Lanjut Latifah. “Saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7 juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari dan es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya. Kamu tahu kenapa ? tanya latifah. " emng kenapa Mba? " lanjut rina dengan nada penuh penasaran.
"Waktu itu jam 7 malam, suami saya menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Setibanya dirumah, mungkin hanya istirahat yang terlintas dibenak kami wanita karir. Ya, Saya akui saya sungguh capek sekali ukhty. Dan kebetulan saat itu suami juga bilang jika dia masuk angin dan kepalanya pusing. Celakanya rasa pusing itu juga menyerang saya. Berbeda dengan saya, suami saya hanya minta diambilkan air putih untuk minum, tapi saya malah berkata, “abi, umi pusing nih, ambil sendiri lah !!”. Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang mencuci piring itu kalau bukan suami saya. Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa malu dan iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, masya Allah, abi demam, tinggi sekali panasnya. Saya teringat perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air putih saja saya membantahnya. Air mata ini menetes, air mata karena telah melupakan hak-hak suami saya.”
Kisah Seorang Wanita Karir Yang Berhenti Bekerja Demi Suami |
“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu sering begitu susah jika tanpa harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya" Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagi rina untuk berbicara.
“Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua, dan saudara-saudara saya justru tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti bekerja. Sesuai dugaan saya, mereka malah membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan yang lain.”
Rina masih terdiam, bisu mendengar keluh kesahnya. "Subhanallah, apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan." Dalam hati rina berkata.
“Mba, bukankah kita harus memikirkan masa depan? Kita kerja juga kan untuk anak-anak kita Mba. Biaya hidup sekarang ini mahal. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah, Mba malah pengen berhenti kerja. Suami mba pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami mba pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah." Tanya rani dengan penuh penasaran.
"Salah mba juga sih, kalau mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar mba duluan sebelum sama yang ini. Tapi mba lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami mba yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami mba itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami mba itu”.
Ceritanya kembali mengalir, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat. “anti tau, saya hanya bisa menangis saat itu. Saya menangis bukan karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, Demi Allah bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya sudah dipndang rendah olehnya." lanjut si wanita karir itu.
"Bagaimana mungkin dia meremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia? Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud dimalam hari?Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya? Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan? Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di hadapannya hanya karena sebuah pekerjaaan?"
"Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya. Saya berharap dengan begitu saya tak lagi membantah perintah suami saya. Mudah-mudahan saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. Saya bangga dengan pekerjaan suami saya ukhty, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan seperti itu. Disaat kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tetapi suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya."
"Suatu saat jika anti mendapatkan suami seperti suami saya, anti tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anti pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram”. Ucap latifah terakhir, sambil tersenyum manis pada rina. Mengambil tas laptopnya, bergegas ingin meninggalkan rina.
Rina melihat dari kejauhan seorang laki-laki dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niat rina menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, wanita itu meninggalkan rina. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.
Maha suci Allah yang menciptakan langit dan bumi...
Sekarang giliran rina yang menangis. Hari ini rina dapat pelajaran paling berkesan dalam hidupnya. Pelajaran yang membuat rina menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam benaknya.. Subhanallah.. Walhamdulillah.. Wa Laa ilaaha illallah... Allahu Akbar...
Sahabat Hamzah yang dirahmati Allah, semoga pekerjaan, harta dan kekayaan tak pernah menghalangi kita untuk tidak menerima pinangan dari laki-laki ataupun perempuan yang baik agamanya. Terima kasih semoga bermanfaat.
Post a Comment